Hal Kecil Bisa Jadi Besar

Sepasang suami istri petani pulang kerumah setelah berbelanja. Seekor tikus memperhatikan makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar?? Ternyata, salah satu yang dibeli oleh petani ini adalah Perangkap Tikus. Sang tikus kaget bukan kepalang.

Ia segera berlari menuju kandang, mendatangi ayam dan berteriak “ada perangkap tikus”. Sang Ayam berkata, “Tuan Tikus, Aku turut bersedih, tapi itu tidak berpengaruh padaku.”

Sang Tikus lalu pergi menemui seekor Kambing sambil berteriak. Sang Kambing pun berkata “Aku turut bersimpati, tapi tidak ada yg bisa aku lakukan.”

Tikus lalu menemui Sapi. Ia mendapat jawaban sama. “Maafkan aku. Tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali.”

Ia lalu lari ke hutan dan bertemu Ular. Sang ular berkata “Perangkap Tikus yang kecil tidak akan mencelakai aku.”

Akhirnya Sang Tikus kembali ke rumah dengan pasrah mengetahui kalau ia akan menghadapi bahaya sendiri.

Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara keras perangkap tikusnya berbunyi menandakan telah memakan korban. Ketika melihat perangkap tikusnya, ternyata seekor ular berbisa. Buntut ular yg terperangkap membuat ular semakin ganas dan menyerang istri pemilik rumah.

Walaupun sang Suami sempat membunuh ular tersebut, sang Istri tetapi harus di bawa ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian istrinya demam. Ia lalu minta dibuatkan sop ceker ayam oleh suaminya. Dengan segera ia menyembelih ayamnya untuk dimasak cekernya.

Tetapi sakit sang Istri tak kunjung reda. Seorang teman menyarankan utk makan hati kambing.

Ia lalu menyembelih kambing untuk mengambil hatinya. Istrinya tidak sembuh dan akhirnya meninggal dunia.

Banyak sekali orang datang pada saat pemakaman. Sehingga sang Petani harus menyembelih sapinya untuk memberi makan para pelayat.

Dari kejauhan sang Tikus menatap dgn penuh kesedihan. Beberapa hari kemudian ia melihat Perangkap Tikus tersebut sudah tdk digunakan lagi.

SUATU HARI, KETIKA ANDA MENDENGAR SESEORANG DALAM KESULITAN DAN MENGIRA ITU BUKAN URUSAN ANDA… LEBIH BAIK PIKIRKANLAH LAGI!
 

Sikap Rendah Hati

Filipi 2:8-11 “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!”

Ayat diatas menunjukkan kepada kita bagaimana kerendahan hati mendahului kehormatan.

Supaya perkenanan dan rencana Tuhan dapat bekerja dalam hidup kita, syarat utamanya kita harus berjalan dalam kerendahan hati. Hal ini merupakan persyaratan bagi kita untuk lulus ujian kerendahan hati. Seperti yang kita lihat di sini, karena Yesus merendahkan diri-Nya, Allah sangat meninggikan Dia. Dan pada saat itu, tidak ada setan di neraka bisa melakukan apapun untuk mencegahnya.

Ketika Tuhan mempromosikan Anda, tidak ada orang, tidak ada setan, tidak ada sistem apapun yang dapat menghambat Anda.

Kuasa Tuhan yang mempromosikan itu tidak dapat ditolak. Tidak bisa dipungkiri, dan tak terkalahkan.
Tetapi sikap yang rendah hati harus ada terlebih dahulu. Sering dikatakan bahwa tidak ada seorangpun berdiri lebih tinggi daripada saat dia berlutut di hadapan Allah. Mari kita merendahkan hati dan taat kepada Tuhan dalam setiap area kehidupan kita. Jika kita merendahkan diri kita di hadapan-Nya, Allah akan mengangkat kita. Pekerjaan Tuhan adalah untuk mempromosikan kita, dan tugas kita adalah untuk memiliki sikap yang rendah hati di hadapan-Nya. Promosi adalah bagian Tuhan dan pekerjaan Tuhan bagi orang-orang percaya.

Sikap yang rendah hati membuka jalan bagi promosi dari Tuhan dalam hidup kita.

Pencuri Kue

Suatu malam, seorang wanita sedang menunggu di bandara. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di sebuah gerai toko di bandara, lalu menemukan tempat duduk.

Sambil duduk, wanita tersebut memakan kue sambil membaca buku yang baru dibelinya. Dalam keasyikannya, ia melihat lelaki di sebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua kue yg berada diantara mereka berdua.

Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan. Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si “Pencuri Kue” yang pemberani itu menghabiskan persediaannya.

Ia makin kesal sementara menit-menit berlalu. Wanita itupun sempat berpikir: (“Kalau aku bukan orang baik, tentu sudah kutonjok dia !”).

Setiap ia mengambil satu kue, si lelaki itu juga mengambil satu. Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan, dan ia segera mengumpulkan barang-barang miliknya dan menuju pintu gerbang.

Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari buku yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan napas karena kaget. Ternyata disitu ada kantong kuenya. Koq milikku ada di sini, jadi kue tadi adalah milik siapa. Milik lelaki itu?

Ah, terlambat sudah untuk meminta maaf; ia tersandar dan sedih. Bahwa sesungguhnya akulah yang salah, tak tahu terima kasih dan akulah sesungguhnya sang pencuri kue itu; bukan dia!

Dalam hidup ini, kisah pencuri kue seperti tadi seringkali terjadi. Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri, dan tak jarang kita berprasangka buruk.

Orang lainlah yang selalu salah, orang lain yang patut disingkirkan, orang lain yang tak tahu diri, orang lain yang berdosa, orang lain yang selalu bikin masalah.

Kita sering mengalami hal diatas, kita sering berpikir bahwa kita paling benar sendiri, kita paling suci, kita paling tinggi, kita paling pintar, dst.

Sejak detik ini, bisakah kita memulai untuk rendah hati?

Dan tidak lagi menjadi “pencuri kue” yang teriak “maling..!” kepada orang lain..!

Kualitas Kehidupan

Dalam sebuah acara reuni, beberapa alumni menjumpai guru sekolah mereka dulu. Melihat para alumni tersebut ramai-ramai membicarakan kesuksesan mereka, guru tersebut segera ke dapur dan mengambil seteko kopi panas dan beberapa cangkir kopi yang berbeda-beda. Mulai dari cangkir yang terbuat dari kristal, kaca, melamin dan plastik. Guru tersebut menyuruh para alumni untuk mengambil cangkir dan mengisinya dengan kopi.

Setelah masing-masing alumni sudah mengisi cangkirnya dengan kopi, guru berkata, “Perhatikanlah bahwa kalian semua memilih cangkir yang bagus dan kini yang tersisa hanyalah cangkir yang murah dan tidak menarik. Memilih hal yang terbaik adalah wajar dan manusiawi. Namun persoalannya, ketika kalian tidak mendapatkan cangkir yang bagus perasaan kalian mulai terganggu.

Kalian secara otomatis melihat cangkir yang dipegang orang lain dan mulai membandingkannya. Pikiran kalian terfokus pada cangkir, padahal yang kalian nikmati bukanlah cangkirnya melainkan kopinya.

“Hidup kita seperti kopi dalam analogi tersebut di atas, sedangkan cangkirnya adalah pekerjaan, jabatan, dan harta benda yang kita miliki.

Pesan moralnya, jangan pernah membiarkan cangkir mempengaruhi kopi yang kita nikmati. Cangkir bukanlah yang utama, kualitas kopi itulah yang terpenting. Jangan berpikir bahwa kekayaan yang melimpah, karier yang bagus dan pekerjaan yang mapan merupakan jaminan kebahagian. Itu konsep yang sangat keliru. Kualitas hidup kita ditentukan oleh “Apa yang ada di dalam” bukan “Apa yang kelihatan dari luar”.

Apa gunanya kita memiliki segalanya, namun kita tidak pernah merasakan damai, sukacita, dan kebahagian di dalam kehidupan kita? Itu sangat menyedihkan, karena itu sama seperti kita menikmati kopi basi yang disajikan di sebuah cangkir kristal yang mewah dan mahal.

“Kunci menikmati kopi bukanlah seberapa bagus cangkirnya, tetapi seberapa bagus kualitas kopinya.”

“Selamat menikmati secangkir kopi…kehidupan”